Oleh Musri Nauli
“Bang, ajak kawan-kawan ke rumah pak Fachrori Umar”, kata suara di ujung telephone. Dari ajudan Al haris.
“Siap”, kataku. Sambil ngomel didalam hati. Bagaimana menghubungi kawan-kawan jurnalis di pagi hari. Jam tidur yang sulit diubah. Syukurlah ada yang bisa di telephone.
“Siap, Pak Dir”, katanya.
Kegiatan Al Haris mendatangi kerumah pribadi pak Fachrori Umar adalah perwujudan janjinya. Sebagaimana janjinya paska pelaksanaan PSU. Akan mendatangi kerumah CE dan Fahcori Umar usai penetapan Pleno KPU Provinsi Jambi.
Mendatangi CE dan Fachrori selain menampakkan sikap rendah hati juga bentuk perwujudan dari “yunior ke senior”. Keteladanan yang memang dipraktekkan orang Melayu Jambi. Tidak ada jabatan apapun, kekayaan apapun. Namun mendatangi senior ataupun guru merupakan sikap yang tetap mengedepankan adab.
Teringat ketika beberapa waktu yang lalu, Jokowi ketika berhasil memenangkan Pilpres 2019 mengeluarkan kata-kata seperti “Sugih tanpa Bandha, Digdaya tanpa Aji, Nglurug tanpa Bala, Menang tanpa Ngasorake”.
“Menang Tanpa ngarorake” adalah cara pandang masyarakat Jawa. Yang menempatkan kemenangan, pencapaian yang telah diraih sama sekali tidak boleh merendahkan orang lain. Makna filosofi yang terkandung adalah “win-win solution”. Bagaimanapun kegembiraan kemenangan juga dirasakan oleh siapapun.
Tradisi ini juga dilakukan para pelatih Inggeris. Terutama antara Sir Alex Ferguson (MU) dan Arsene Wenger (Arsenal).
Setiap pertandingan yang mempertemukan MU dan Arsenal dalam partai-partai klasik, siapapun yang menjadi pemenang, maka sang pelatih kemudian mendatangi lawannya. Tentu saja membawa khas minuman wine. Sebagai tanda persahabatan. Tradisi ini sudah berlangsung sejak keduanya mulai menjadi pelatih kedua klub. Saya tidak mendengar lagi kisah ini.
Selain keduanya tidak melatih lagi juga, tradisi ini tidak diteruskan kepada pelatih-pelatih lain.
Bagaimanapun, sekeras apapun pertandingan yang telah melakoni, namun keduanya saling menunjukkan hormat. Sikap Simpati yang kemudian membuat liga Inggeris selalu enak ditonton. Dan Tetap mengedepankan liga terbaik dunia. Menjunjung tinggi sportivitas. Sekaligus mampu menghibur penonton.
Hingga keduanya meninggalkan klubnya masing-masing, tidak pernah terdengar ejekkan maupun sindirian sesama pelatih. Mereka terus menjaga hubungan profesional. Dan Tetap menjunjung tinggi sportivitas.
Al Haris-Sani yang kemudian terpilih adalah Pemimpin Jambi. Bukan milik sebagian kelompok.
Sebagai Pemimpin Jambi sudah tepat dilekatkan makna kepemimpinan yang sering disebutkan didalam seloko.
“Alam Sekato Rajo. Negeri Sekato Batin”.
Atau Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak. Atau “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang.
“Pohon Gedang ditengah dusun. Pohonnya rindang tempat beteduh. Akarnya kuat tempat besilo. Dahannya kuat tempat berayun”.
“Tempat pegi betanyo. Tempat balek beberito”.
Negeri yang kemudian direstui yang Maha Kuasa. Yang kemudian ditandai dengan jawaban alam.
Meminjam kata-kata Abdullah Sani (Yai Sani), “Padi menjadi. Rumput hijau. Aeknyo tenang. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugur”.
Atau dalam filosofi Jawa “gemah repah. Loh Jinawi. Tata tentrem kerto Raharjo”.
Direktur Media Publikasi dan Opini Tim Pemenangan Al Haris-Sani.
Komentar