Oleh Nurul Fahmy
Pemilihan Gubernur Jambi 2020 lalu telah memakan korban. Mereka umumnya adalah pelaku pelanggar pemilu. Seperti NF, yang telah divonis hukuman penjara 3 tahun karena terbukti melakukan politik uang, bagi-bagi sembako dan tiang listrik. Jangan sampai PSU 27 Mei 2021 ini, Anda jadi korban berikutnya.
Selain NF, korban lain juga adalah penyelenggara pemilu itu sendiri. Sebanyak 5 orang Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) sudah dipecat. Mereka terbukti mencuri suara pasangan Fachrori Umar- Syafril Nursal untuk diberikan kepada pasangan Cek Endra – Ratu Munawaroh di Kotobaru, Kota Sungaipenuh. Kelima PPK ini dibayar uang tunai dengan nilai mencapai setengah N Max (Rp15 juta) perorang untuk aksi mereka itu.
Meski para pelaku sudah dipecat, namun sayangnya, proses pidana bagi mereka sampai kini tidak jelas. Termasuk pengusutan terhadap terduga pemberi uang, yakni pasangan CE- Ratu. Masyarakat hingga saat ini tetap menunggu proses pidananya oleh aparat penegak hukum.
Korban pelaku berikutnya adalah Komisoner KPU Provinsi Jambi, Sanusi. Yang bersangkutan terbukti memberikan data penting KPU kepada pasangan Cek Endra. Majelis Hakim dalam sidang di DKPP akhirnya memberikan peringatan keras kepada Sanusi karena terbukti melanggar kode etik KPU. Sanusi akhirnya memilih mengundurkan diri dari KPU.
Di Kota Jambi dan Tanjab Timur, berdasarkan laporan ke Bawaslu sebelum hari pencoblosan Desember 2020, pelanggaran pemilu umumnya dilakukan pasangan Cek Endra dan Ratu Munawaroh. Meski sempat diproses, namun kasus ini mentah di Gakkumdu. Drama penyelidikan kasus ini bergulir ke DKPP. Sejumlah fakta janggal, kita tahu, terungkap dalam sidang itu beberapa waktu lalu.
Satu Juta Perkepala
Meski korban telah jatuh selama Pilgub Jambi, namun dugaan pelanggaran pemilu berupa praktik bagi-bagi uang jelang PSU ini tetap tak surut. Seperti informasi belakangan ini. Seorang emak-emak diduga menerima uang di salah satu kecamatan di Muarojambi, dari salah satu kandidat.
Bagi-bagi uang dengan modus tunjangan hari raya (THR) juga santer terdengar. Bahkan caranya lebih “canggih”. Tidak diberikan secara tunai, tapi ditransfer langsung ke rekening warga atau saldo di salah satu aplikasi.
Salah satu kandidat disebut telah menyiapkan anggaran sebesar Rp20 sd Rp40 miliar untuk diberikan kepada pemilih agar mencoblos kandidat tertentu. Asumsinya satu pemilih diberikan uang Rp1 juta sampai Rp2 juta perorang. Uang sebesar itu diharapkan mampu memberikan kemenangan kepada pasangan tersebut, dengan target perolehan suara mencapai 20 ribu, dari 29 ribu suara pemilih yang akan ikut PSU di 88 TPS di 5 kabupaten/kota di Jambi.
Meski belum terkonfirmasi, informasi ini jangan dianggap remeh dan sepele. Tidak boleh diabaikan. Jika dipraktikkan, jelas sangat menciderai proses demokrasi di Jambi. Apalah arti dua puluh miliar untuk proses akhir pilkada ini bagi kandidat yang beruang dan ambisi menjadi kepala daerah atau gubernur. Dibanding dengan biaya selama proses pra dan pasca pemilihan 9 Desember 2020 lalu, uang Rp20 miliar tidak besar. Duit segitu cuma kaleng-kaleng.
Berbagai pihak, utamanya pengawas pemilu diharapkan buka mata dan telinga. Dugaan ini memang seperti kentut. Baunya ada, tapi tak diketahui sumbernya. Sebagian kita mungkin telah mendengarnya. Mencium baunya. Tapi tak punya kemampuan mengungkapnya. Tapi ini jelas tak boleh diabaikan. Kita semua harus buka mata, pasang telinga. Mengakses transaksi keuangan dengan menggandeng pihak terkait seperti Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah salah satu langkah yang dapat dilakukan.
Menelisik dugaan transaksi serentak atau berkala ke sejumlah rekening baru di sejumlah daerah di Jambi, jelas harus dilakukan. Kalau ada, ini jelas mencurigakan. Seluruh pihak diharapkan juga proaktif menelisik dugaan ini.
Jangan sampai statemen Kapolda Jambi Irjen Pol Albertus Rachmad Wibowo, yang mengancam akan menangkap langsung pelaku politik uang (pemberi dan penerima) hanya jadi sekedar angin lalu. Jangan sampai ketegasan ini macet di tingkat bawah, hanya karena kita abai dan menganggap semua itu, bagi bagi uang Rp 1 juta perkepala itu, tak mungkin.
(Penulis adalah wartawan)
Komentar